Sony Karsono: Pikiran, Ucapan, Dan Tindakan Saya (Seperti Yang Dipaparkan Kepada Adib Arkan) — Sebuah Wawancara Tertulis

Adib Arkan
30 min readFeb 6, 2024

--

Setelah menjadi buah bibir penggemar sastra 90an dengan cerpen-cerpen amoralmaxxing yang tayang di koran/majalah mainstream sepanjang 1995 hingga 1997, Sony Karsono lenyap tanpa bekas dari orbit sastra Indonesia. Ia kembali sekelebat pada 2002—“Surabaya Johnny”, sebuah cerpen mock-obituary tentang karakter Surabaya Johnny dan sejarah perjalanan hidupnya sebagai seniman yang nyentrik nan absurd, dirilis di majalah Kidung milik Dewan Kesenian Jawa Timur. Sayangnya cerpen tersebut hingga hari ini merupakan karya fiksi terakhirnya. Diketahui ia menjadi dosen dan periset, kemudian menarik diri sepenuhnya dari sastra Indonesia selagi cerpen-cerpennya terus tersebar dari mulut ke mulut, dari satu sastraheads ke sastraheads lain, dari fotokopian ke fotokopian hingga berakhir menjadi mistifikasi: siapa sebenarnya sosok Sony Karsono, penulis cerpen-cerpen “sakit” 90-an tengah sekaligus penulis “Surabaya Johnny”, mock-obituary epik bermandi humor, amoralitas, filsafat dan interteks?

Mistifikasi ini terus berlangsung sampai 2023, ketika Penerbit Anagram mengumumkan perilisan Sentimentalisme Calon Mayat, buku kumpulan cerpen dari sang penulis obskur tersebut. Kabar yang mengejutkan, tentu. Judul buku itu sendiri diambil dari salah satu dari dua cerpen Sony yang masuk ke dalam buku Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996. Akhirnya, setelah berdekade hidup hanya dari fotokopian-fotokopian kliping koran dan majalah, cerpen-cerpen Sony menjadi sebuah kesatuan, sekaligus korpus kepengarangan satu-satunya dari figurnya yang bahkan tak lagi tinggal di Indonesia sejak beberapa tahun silam (hari ini, ia telah menetap dan menjadi dosen di Korea Selatan.)

Kemasyhuran nama Sony Karsono—meski ia hanya merilis tujuh cerpen—bukan mitos kosong belaka. Meski tak banyak, cerpen-cerpennya mungkin adalah piece fiksi paling transgressive, paling morbid, paling sinting dan paling ekstatik yang dapat anda temukan dalam merespons fenomena-fenomena Orde Baru seperti ke”bapak”an masyarakat dan pembungkaman buruh. Karakter-karakternya “sinting", dan tak berhenti di sana, ia mengoplosnya dengan bumbu-bumbu esoterik seperti sci-fi (“Meteorit"), horror ("Sukra”), kink/fetish (“Sentimentalisme Calon Mayat”, “Surabaya Johnny"), pengalaman ketubuhan ("Melankolia”) dan hiperrealitas ("Tirai”). Kekayaan tema ini, lengkap dengan karakter-karakternya yang berlaku di luar kelaziman, membuatku bertanya-tanya: Bagaimana dia bisa nulis prosa semenyengat ini? Mana pengalaman mana fantasi? Bagaimana prosesnya? Apa saja yang ia konsumsi? Siapa Sony Karsono ini, sebenarnya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan barusan, aku menghubungi Sony Karsono untuk wawancara. Sebelumnya kami telah bertemu sekali dan mengobrol sedikit pada peluncuran bukunya di Atelir Ceremai. Ketika ia kembali ke Jakarta pada bulan Agustus 2023 lalu, kami langsung janjian bertemu di Kedai Pasar Baru, Jakarta Pusat, beberapa jam sebelum ia mendiskusikan Sentimentalisme Calon Mayat bersama Dewi Anggraeni dan kawanku Bardjan di Patjarmerah, Pos Bloc. Sony Karsono datang dengan istri, yang kemudian menunggu di bagian dalam kafe, membiarkan saya berbincang dengannya bertiga (saya ditemani William, seorang kawan) di luar selama dua setengah jam, yang seluruhnya tertuang tanpa kurang sedikit pun pada transkrip +-7000 kata di bawah ini. Have a nice seat and enjoy the talk!

_____________________________________________

A: Halo Om Sony! Sebelumnya, selamat atas rilisnya Sentimentalisme Calon Mayat. Akhirnya, enam cerpen yang sempat terbit di media massa dan majalah circa 1995-1997 dengan cerpen penutup “Surabaya Johnny” di majalah Kidung terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur 2002 tersebut dapat menatap pembaca sebagai satu kesatuan. Apa sih yang memantik anda untuk mengiyakan tawaran Anagram untuk akhirnya menerbitkan cerpen-cerpen yang usianya kini hampir seperempat abad?

S: Sebetulnya bertahun-tahun lalu Bung Doni (editor Anagram, red) pernah hubungin saya lewat Academia.edu (situs berbagi tulisan ilmiah). Waktu itu dia langsung nanya: "Pak Sony, gimana kalau cerpen-cerpen anda kami terbitkan?" Saat itu saya bener-bener nggak suka atas ide tentang nerbitin tulisan-tulisan lama saya. Karya jelek gitu, buat apa? Saya sungguh nggak pede. Jadi, yaudah aja. Nggak lanjut kontakan. Sebenarnya, Bung Doni nanyanya secara tersirat. Tepatnya begini: “Oh iya, Mas, boleh saya minta kontak mas (bisa surel atau kontak sosial media lainnya). Mau nanya-nanya soal cerpen “Surabaya Johnny: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”. Suwun mas.” Meski Doni nanyanya spesifik tentang “Surabaya Johnny” doang, waktu itu dalam hati saya sudah “suudzon” aja: “Nih orang kalau saya tanggepin, bisa berabe saya nantinya. Paling parah: obrolan bakal bermuara ke ide penerbitan “Surabaya Johnny” dan cerpen-cerpen brengsek saya lainnya. Wadow.” Kegiatan ugal-ugalan nulis cerpen kan bagian dari masa lalu saya. Di tahun 2017, saya udah sangat jauh dari kegemaran menulis fiksi. Tentu saja, waktu itu Bung Doni kontan saya “ghosting”. Dia nanya-nanya ke saya di Academia.edu bulan April 2017, eeh baru Februari 2023 sayanya njawab dia di situ. Sebagai gurauan menjelang pre-launch kumcer Sentimentalisme Calon Mayit eh Mayat oleh Anagram di Atelir Ceremai.

Nah, tiap pulkam ke Surabaya, saya suka nongkrong sama kawan-kawan lama dari UNAIR. Ribut Wijoto, salah satu dari mereka, tak bosan-bosannya nyeletuk: "Eh, itu karyamu diterbitin aja sekarang." Sebagai kepala batu, saya menolak ide itu. Saya mengelak: “Cerpen-cerpen jelek seperti itu udah nggak cocok dan nggak berguna bagi para pembaca generasi sekarang.” Bung Ribut menjawab: "Lha, itu kan menurut kamu. Para pembaca kan berhak punya pikiran sendiri tentang cerpen-cerpenmu. Terserah mereka.” Saya bersikeukeuh: “Ogah ah.” En toch, beberapa tahun kemudian, pada sebuah pertemuan tanggal 20 Juli 2022 di Taman Bungkul, Surabaya, Bung Ribut melontarkan alasan baru kenapa cerpen-cerpen saya perlu diterbitkan. Dia cuap-cuap: “Anggap saja penerbitan karya-karyamu itu sebagai aksi dokumentasi.” Saya pikir: “Wah, boleh juga argumen Bung Ribut ini. “Naluri” saya sebagai sejarawan sontak kepancing. Saya nyerah: “OK deh”. Akhirnya, oleh Ribut, saya disambungkan ke temannya, Aris Rahman Purnama Putra. Dia anak muda seusia kalian.

A: O Aris… temen akuuuu. Dia suka ke Atelir juga. Tau gitu tadi sekalian diajak ke sini, deket sini kosannya. Hahaha.

S: Hahaha. Dia nulis juga kan ya? Cerpen, puisi, film, kalo nggak salah. Jadi saya minta Aris untuk jelasin dari sudut pandang anak muda, kenapa saya perlu nerbitin cerpen-cerpen saya. Anehnya, sekarang saya udah lupa apa persisnya argumen Aris. Pokoknya, akhirnya saya setuju. Aris lantas menghubungkan saya ke temannya yang tak lain dan tak bukan adalah… si Doni! Hadeh. Full circle moment. Setelah konfirmasi dan mencapai mufakat, saya mulai nyiapin naskah bareng Doni dan Hamzah Muhammad, yang bertugas sebagai editor. Kami tektokan jarak jauh, hingga akhirnya selesai dah itu kitab di 2023 awal.

A: Jadi intinya karena kata "dokumentasi" itu ya.

S: Yoi. Tapi kata "dokumentasi" ini layak dikritisi. Pas diskusi buku ini di Jogja, salah seorang hadirin—atau bahkan mungkin sang moderator—melontarkan kritik: "Katanya proyek dokumentasi, tapi kok banyak amat revisinya?" Ini kritik valid. Ya udah. I plead guilty. Saya menyerah pada godaan untuk ngotak-atik sang dokumen. Ha ha ha. Alih-alih melestarikan dokumen, saya udah ngobrak-abrik dokumen. Jahil memang tangan saya. Selain itu, datang banyak saran menggiurkan dari Doni dan Hamzah, dynamite eh dynamic duo editor saya. Mereka temukan beberapa plot holes. Sialan! Kok dulu saya nggak ngeh ada plot holes! Jadi, OK, mau nggak mau beberapa cerpen mesti saya permak di sana sini. Namanya juga tangan jahil. Lagi pula–ini kalo saya nggak salah ingat–salah satu impuls yang mendorong saya di dekade 1990-an bikin cerpen tak lain adalah impuls untuk melakukan prank.

salah satu cover buku paling oke taun kmrn

A: Secara keseluruhan, buku Om Sony merupakan respon transgressive terhadap fenomena kekerasan dan represi pada Orde Baru. Bagaimana pengaruh kondisi iklim politik dan intelektual via pengalaman ril di sekitar anda ketika menulis cerpen-cerpen ini?

S: Sejak SMA di tahun ‘88, saya ngerasain banget tatanan sosial Orde Baru yang otoriter dan mencekik leher. Waktu itu Orde Baru memicu, dalam diri saya, emosi-emosi seperti jengkel, amarah, dan rasa sesak. Di sekolah, juga dalam masyarakat, cara berpikir dan berperilaku warga negara diatur-atur terus oleh para penguasa. "Yang begini" boleh, sedangkan "yang begitu" nggak boleh. Hal-hal yang diharamkan Orde Baru antara lain adalah ide-ide “ekstrim kiri” dan “ekstrim kanan”. Ekstrim kiri mencakup, misalnya, Marxisma, Leninisma, komunisma, PKI, dan sebangsanya. Ekstrim kanan mencakup, misalnya, gagasan negara Islam, cita-cita NII, gerakan DI/TII, dan sebangsanya. Orang Indonesia boleh hidup sebagai Muslim. Tapi, mereka dilarang mengamalkan apa yang dinamakan “Islam politik”. Orang Indonesia silakan aja memperjuangkan pelaksanaan sila kelima Pancasila. Tapi mereka kagak boleh mencoba membangun sosialisma atawa komunisma di bumi Indonesia.

Secara umum, kehidupan sehari-hari di masa Orde Baru kadang terasa sebagai:

1) Membosankan

2) Konservatif

3) Represif

4) Otoriter

5) SOK TAHU.

“Sok tahu” di sini berarti: para penguasa berlagak "father knows best" gitu. Praktek-praktek “kebokapan” atawa bapakisma ini nular ke mana-mana: ke pola pikir bokap biologis kita di rumah, ke pola didik guru di sekolah, ke para simpatisan Soeharto di seantero kota. Jadilah, dunia di masa itu dihantui oleh sosok "bokap" di mana-mana. Soeharto-soeharto kecil merajalela.

A: Otoriter, pasif-agresif, patriarkal plus masyarakatnya jadi semacam panoptikon untuk nilai-nilai itu ya om.

S: Kurang lebih begitu. Terus ya meski saya kebetulan anak tentara, saya alergi dengan militerisasi masyarakat. Saya bertanya-tanya: "Apa nih yang bisa dimainkan sebagai antitesis cara hidup Orde Baru?" Adapun menjadi bagian, misalnya, dari jajaran bodyguards dan ideolog Orde Baru tampak di mata saya sebagai move yang naudzubillah min dzalik. Amit-amit. Dalam konteks itulah, sastra Indonesia dan asing menjanjikan diri sebagey jalan keluar. Waktu itu, saya mulai kesambet teori-teori Barat, termasuk pemikiran-pemikiran "oposisional”, yang menawarkan diri sebagey cara alternatif untuk menafsir dunia. Duilé! Pemuda-pemudi generasi sekarang mungkin bisa langsung aja mengimpor dan mengadopsi literatur perlawanan dari Asia. Dulu, kalau nggak ngimpor teori-teori Barat, kami mengimpor pemikiran alternatif dari Amerika Latin, umpamanya teologi pembebasan. Dengan kata lain, di usia 20-an, sampai derajat tertentu, saya rada-rada kebarat-baratan, dengan injeksi ide-ide Amerika Latin (Teologi Pembebasan) dan Afrika Utara (Islam Sudan) di sana-sini.

A: Terpengaruh sastrawan DWEM (Dead White European Males) dong kayak Surabaya Johnny. Hahaha.

S: Ya, tepat. Sejumlah DWEM memang jadi model sastrawi saya. Waktu SMA kelas dua, orientasi kebudayaan saya tuh Amerika Serikat, UK, Jerman dan Prancis. Attitude saya adalah bodoamat dengan nilai rapor saya untuk pelajaran-pelajaran lain. Saya lebih antusias ngulik bahasa negara-negara tadi. Di Surabaya, infrastrukturnya cukup mendukung untuk belajar: ada Goethe Institut untuk les Jerman, Centre Culturel Français untuk les Prancis, dan PPIA untuk les Inggris. Dulu, berkat les-les ekstrakurikuler itu, saya akhirnya bisa ngakses buku-buku dalam bahasa tersebut. Asoy geboy jadinya. Sekarang, Jerman saya udah amburadul, sedangkan Prancis saya jadi pasif, hanya bisa untuk baca. “Software” bahasa asing yang aktif tinggal Inggris doang. Kayaknya, saya kurang berbakat berbahasa asing.

A: Oke, lanjut. Tadi kan jaman SMA ya, berarti pas Om kuliah dan nulis “Sentimentalisme” di medio 90-an, hawanya makin nggak enak dong?

S: Benar. Makin jahanam. Sebenarnya udah banyak terorisma negara pas saya kecil, kayak Peristiwa Tanjung Priok 1984 pas saya SD. Itu serem banget, saya baca beritanya di Pos Kota sama Tempo, tapi saya terlalu kecil buat paham masalahnya. Keresahan terkait Orde Baru tuh baru tumpah ke cerpen saya mulai 1995, ketika usia saya 24. Sebelum itu mana bisa saya nulis cerpen? Memulai sih bisa, tapi merampungkan jangan tanya. Kacrut lah hasilnya. Saya emang pembelajar yang lambat. Belajar apa pun pasti lambat prosesnya. Baru di usia segitu dan setelah nongkrong (istilahnya) “lebih dari 24 SKS per semester” sama kawan-kawan yang maniak menulis, akhirnya skill saya terakselerasi.

Selain itu, di semester pertama kuliah S1 tuh ada “Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) Pola 100 Jam”. Paket 100 jam ini berlangsung dua minggu penuh. Isinya indoktrinasi dosis tinggi. Semua mahasiswa wajib ngikut. Kalau tidak, maka nilai matkul Pancasila kami bakal kosong. Artinya, kami nggak bisa lulus kuliah. Muké gilé. Indoktrinasi satu arah gitu menyebalkan buat kami, sebagian mahasiswa yang udah mulai melek bacaan alternatif dan permasalahan sosial. Tensi darah saya melonjak. Udah gitu, di luar kampus, represi oleh negara makin telanjang dan barbar. Marsinah, seorang perempuan pemimpin buruh, dibunuh. Terus, ada insiden di Nipah, Madura (1993) dan konflik tanah di Jenggawah, Jember. Di Nipah, petani ditembakin tentara. Hal-hal keji kayak gini mau nggak mau langsung mengelevasi daya kritis kami-kami.

arsip cerpen sony di koran oleh hamzah muhammad

A: Gimana respon sastra Indonesia akan iklim keji tersebut?

S: Saya ingat Seno Gumira Ajidarma, Afrizal Malna dan Wiji Thukul merespon hal-hal ini dengan estetika yang berbeda-beda. Seno dengan pendekatan cerpen surrealisnya merespon tragedi Aceh dan Timor Timur, Afrizal dengan puisi-puisi "kode" dan Wiji Thukul puisi politik yang lugas, terang, menyalak. Bacaan dari sastrawan-sastrawan ini turut bikin kami radikal. Pokoknya, pada saat itu, literatur kiri terasa aduhai dan superhot buat kami. Exciting, kayak ketemu semacam “obat kuat” intelektual. Terus kami juga tertarik banget sama Teologi Pembebasan, yang ngegabungin teologi dengan teori kiri. Teologi Pembebasan ala Katolik kami kenal dari buku (semula skripsi) karya Romo Francis Wahono Nitiprawira, terbitan Sinar Harapan. Waktu itu buku ini di-banned, maka makin keren lah pengalaman bacanya. Dari spektrum Islam, kawan-kawan PMII Surabaya nerjemahin pemikir-pemikir Islam yang kritis dan kiri, favorit kami tuh buku Ustad Mahmoud Mohamed Taha dari Sudan, The Second Message of Islam. Dua itu, digabung sama yang sastra tadi, jadi “explosive” pokoknya. Semacam dinamit intelektuil. Benar-benar menciptakan katarsis bagi kami para penulis pemula.

A: Dalam diskusi Sentimentalisme di Atelir Ciremai, Om Sony bercerita kalau sempat betul-betul menyambangi rumah sakit jiwa dan mengobservasi polah tingkah pasien-pasien di sana. Kekuatan observasi ini menampakkan tajinya pada bangunan karakter-karakter "sakit." Mulai dari insomnia akut hingga nekrofilia dan koprofilia, perjalanan psyche karakter tergambar secara demikian natural di tengah setting yang absurd. Selain itu, isu kesehatan mental—diagnosis, poli jiwa, konsumsi obat-obatan—juga digambarkan secara "normal", dalam artian tanpa stigma maupun glorifikasi. Boleh dong ceritain pengalaman dan gimana sih efek observasi ini dalam pengembangan psyche karakter?

S: Belakangan saya sadar bahwa saya dulu orangnya romantik, dalam artian saya meromantisasi dan mengglorifikasi hal-hal yang jadi lawan “rasionalitas” ala Orde Baru. Klaimnya kan mereka lagi bikin masyarakat sehat dan teratur, tapi kelakuan konkret mereka kok malah merusak berbagai aspek kehidupan. Ibarat kata: seorang "bokap" bejat dalam keluarga brengsek kok berharap anaknya beres, normal, dan waras? Konyol kan. Akhirnya saya tertarik sama orang-orang yang menganggap serius hal-hal yang non-rasional dari diri mereka, seperti emosionalitas dan kegilaan. Broken people. Tapi saya bukan asal kagum sama pergulatan mereka. Saya sih penginnya mereka akhirnya bisa bahagia. Tapi itu kan bagai menegakkan benang basah. Jadi, akhirnya saya berusaha memotret dan mengekspresikan sebagian struggle mereka ke dalam karya.

Observasi ke RSJ itu sebenarnya bukan untuk cerpen, tapi bagian dari tugas mata kuliah. Saya anak psikologi. Sekarang, internship kayak gini tugasnya anak S2, tapi di kurikulum lama anak-anak S1 pun mesti ambil. Saya ambil tiga bidang internship, salah satunya Psikologi Klinis di Poli Jiwa Rumah Sakit Daerah Dr. Soetomo. Di sana lah perjumpaan resmi saya dengan apa yang oleh khalayak awam disebut "orang gila." Dari dulu sih saya udah sering jumpa mereka di jalan-jalan, bahkan ada yang dipasung di rumah, jadi tontonan tetangga. Yang dipasung ini adalah orang dengan sifilis parah sampai ngerusak otak, ngobrak-abrik tata bahasanya. Masih tergambar jelas gimana orang itu ngomongnya ngaco, jorok dan vulgar banget buat saya yang waktu itu masih kecil. Saya terkesima.

Kondisi psikis para pasien di Poli Jiwa Rumah Sakit Daerah Dr. Soetomo lebih kompleks. Ada yang karena faktor-faktor biologis dan sosial. Biasanya dampak dari masalah relationship yang intim, baik itu orang tua, kekasih, anak, atau perceraian. Beberapa orang kuat mengelola hal-hal kayak gitu, beberapa lagi kan nggak. Jadinya kacau. Tapi fenomena ini punya sisi “indah”. Perverse beauty, katakanlah. Kayak dengerin Janis Joplin misalnya, rock menyedihkan yang kita tau si seniman yang bikin lagi menderita banget, tapi kok saya bahagia ya dengarnya?

A: Ekspresi emosi dan bahasa yang intens dari bawah sadar gitu ya.

S: Benar. Dan sama seperti ekspresi emosi lainnya, hal ini menular. Ngobrol sama mereka rasanya kayak kena setrum, kena sihir. Luka-luka dalam diri kita pun kebuka dan kita jadi sadar gitu. Nah, dalam pengaruh ini lah saya nulis cerpen. Sampai di rumah, saya langsung tak tok tak tok nulis. Tapi lama-lama kan efek setrum ini abis, dan di situlah musik berperan. Biasanya saya nyari musik yang senada dengan pengalaman pasien yang tadi saya ngobrol. Iwan Fals, salah satunya. Saya berutang budi sama musik-musik dia ketika bikin “Sentimentalisme”. Bahkan kadang nggak mesti liriknya, musiknya yang "gila" juga udah cukup. Saya sendiri juga sempat mengintensifikasi perasaan "gila" ini ketika proses menulis cerpen. Waktu itu bokap saya sakit dan meninggal. Dia udah sering sakit, tapi saya nggak nyangka ini yang terakhir. Terpukul dan nggak siap banget lah saya. Jadi dalam menghadapinya, saya pergi ke kuburan sambil sedih, ambil sejumput tanahnya dan taruh di wadah di dalam kamar. Kayak, "I miss you, dad" gitu.

menang prosa tempo 2023 cooooyyyyy

A: Imagery yang kamu olah pada cerpen-cerpen ini membentang mulai dari metafisik (alam mimpi, hantu-hantu lokal) hingga fiksi sains spekulatif (dokter hologram, detektor meteorit, bom otak). Pada cerpen "Sukra" yang merespon isu sensor era Orde Baru, misalnya, Om Sony memulai cerita pada "kamar inkubasi" berupa telur raksasa dengan panel kontrol game kemudian mengakhiri cerita dengan kematian tokoh utama yang dirayakan pocong-pocong sepenjuru kota. Alih-alih mempertentangkan, Om Sony justru menemukan sweet spot antara imagery metafisik dan futuristik yang berseberangan dalam bentuk teror. Bisa ceritain gak, gimana sih proses di balik perajutan gambar-gambar ini?

S: Dokter hologram di "Sukra" itu terinspirasi dari AI super primitif bawaan motherboard komputer tahun ‘92-93. Tahun segitu, kalau beli komputer rakitan kan dapat motherboard tuh. Nah, di motherboard itu ada soundcard dan salah satu merek soundcard-nya dulu adalah Soundblaster, keluaran Singapura. Soundblaster itu abis kita instal, kita bakal dapat bonusan yakni dokter jiwa AI, nama karakternya Dr. Sbaitso. Saya suka ngetik "Dr. Sbaitso, saya ada masalah blablabla" dan dia jawab. Nggak ada gambar, cuma teks, kayak ChatGPT gitu. Walau masih bodoh jawabannya, tapi saya excited banget. Mesin kok nanggepin? Imej Dr. Sbaitso itu akhirnya nancep banget di kepala. Terus saya tahun ‘92 itu juga main game namanya Afterlife, tentang simulasi alam akhirat tapi modelnya kayak bisnis gitu, jual-beli tanah kavling-kavling surga-neraka gitu, bisa investasi juga. Hahaha.

Kalo tokoh Sukra saya terinspirasi cerita Raden Sukra via puisi Goenawan Mohamad yang waktu itu saya baca, berjudul "Balada Penangkapan Sukra." Jadi, Sukra itu pemuda ningrat ganteng di kota Kartasura, Jawa Tengah, akhir abad ke-17. Putra Patih Sindureja ini suka naik kuda putih dan tebar pesona di alun-alun kota. Abang-abang dan bapak-bapak pada jealous. Sudahlah jealous, ealah, Raden Sukra malah ketahuan selingkuh dengan Raden Ayu Lembah, istri Dipati Anom, putra mahkota kerajaan Mataram. (Kelak, di awal abad ke-18, doski naik tahta sebagai Amangkurat III.) Singkat cerita, Raden Sukra ditangkep, digebukin, dan matanya dimasukin semut. Endingnya, Raden Sukra dan Raden Ayu Lembah dihukum mati. Raden Sukra dibunuh para pengawal Dipati Anom. Raden Ayu Lembah dibunuh ayahnya sendiri, Pangeran Puger. Bertolak dari puisi GM itu, saya pun cari kisah aslinya di Babad Tanah Jawi, tapi ketemunya justru versi Belandanya di perpus kampus Unair di Jl. Dharmawangsa. Prosa gitu, gubahan Ngabehi Kertapradja. Aslinya kalau nggak salah puisi klasik Jawa, tembang macapat, tapi saya gagal nemuin. Saya terjemahin versi Belanda itu, saya baca ulang, dan saya terkesan banget.

Imagery-imagery ini akhirnya saya gabungin. Sukra saya reimajinasi ke lanskap modern, dan saya bikin kebalikan dari karakter aslinya. Sukra saya adalah Sukra yang udah jauh dari pemahaman sensualitas diri dan justru mendapat thrill dan kesenangan dari membunuh orang. Kayak, versi Sukra yang bloon, dan mesti belajar tentang cinta dan tubuh gitu. Gurunya saya bikin Dr. Sbaitso, dan alam virtual reality-nya saya ambil dari game Afterlife. Sedangkan Dipati Anom saya jadiin Kolonel Infanteri, Raden Ayu Lembah saya jadiin si Penari Balet. Semuanya saya masukin.

A: Seru banget Om mashup-nya. Kayak lukisan collage ancient-futuristic. Kalo pocong-pocong di endingnya dari mana tuh?

S: Pocong itu phobia saya sampai sekarang. Pas kecil banget saya takut sama pocong, gara-gara nonton film Benyamin Sueb, Setan Kuburan. Film itu bikin saya ngebayangin pocong akan muncul tiap saya lewat jalan gelap. Di kemudian hari, pas kelas 2 SD, saya lihat pocong beneran. Bukan hantunya, tapi tetangga saya kecelakaan terus dibungkus kain kafan dan kepalanya merah berdarah. Oh, pocong itu berdarah, saya pikir waktu itu. Selain itu hidung saya pernah digampar bau mayit yang udah lama ngapung di Kali Krukut, dekat TPU Karet Bivak. Baru ditemukan, dan baunya udah ancur gak karuan. Nggak lama istrinya dateng naik becak sambil nangis-nangis, dan snapshot ini kuat banget nancep di ingatan saya. Yang paling seram ketika saya, kelas 4 SD, sedang otw ke rumah teman untuk nonton film. Saya lewat TPU Kebon Kacang yang beberapa bagiannya lagi dibongkar untuk bangun gedung. Pemandangan padang luas terus banyak bolong-bolong dengan tengkorak dan jerangkong berserakan itu nyetrum saya kuat banget. Maka, saya mengolah gambar itu ke dalam cerita, dengan harapan saya bisa "menjinakkan" gambar-gambar horor ini di kepala saya.

A: Prosa yang kamu tulis tuh selalu menyengat banget. Misalnya seperti visual janggal berpadu dark humor untuk melukis jenazah sang Bapak pada "Sentimentalisme Calon Mayat" dalam satu tarikan nafas: deskripsi vivid bagian tubuh seperti "Wajah calon jerangkong" dan "Kening 10° celcius" yang kemudian dikecup protagonis sambil berbisik "Selamat jalan" lalu ditutup pertanyaan absurd: Jalan ke mana? Baca paragraf ini aku langsung kek: BANGERRRRR! Kesetrum, tapi terpukau juga. Siapa sih influence terbesar Om Sony dalam menulis prosa-prosa cerpen?

S: Ada dua, dari kehidupan dan sastra. Yang kehidupan tadi udah disebut beberapa kan. Tapi masih ada lagi. Jadi dulu saya pedekate sama cewek, dan dulu kalo pedekate mesti nelpon ke bilik telepon umum. Dulu kan ngantri kalo make itu, jadi nggak bisa lama-lama nelpon gebetan. Nah akhirnya saya pergi ke RS Angkatan Laut di Benhil. Di situ ada telepon umum, tapi samping kamar mayat. Nggak ada yang berani make jadi saya bisa berlama-lama. Tapi akhirnya itu bikin saya nelpon cewek dengan kasmaran sambil sport jantung mikirin mayat. Kontras gitu, absurd, hahaha.

Kalo menemukan bahasa yang pas untuk mendeskripsikan kematian dengan segitunya, saya terinspirasi Edgar Allan Poe. Dulu ada edisi murah dari Penguin Books isinya cerita-cerita horor dia. Yang paling mencekam adalah cara bercerita dia di "The Tell-Tale Heart" yang naratornya pembunuh tapi dia terus mencoba meyakinkan pembaca kalau dia waras, sambil di sisi lain terus menggambarkan pembunuhannya yang nggak ada waras-warasnya. Itu cerita yang sangat menginspirasi saya dalam nulis Sentimentalisme.

sahabatku bardjan sedang memandu diskusi sentimentalisme

A: Di cerpen “Melankoli", kamu berbicara tentang tema yang jarang disampaikan oleh penulis laki-laki dengan tepat dan baik: pengalaman ketubuhan. Gimana akhirnya bisa sampai ke tema unik tersebut?

S: Hmm. Melankoli ya. Jadi waktu itu Nirwan Dewanto kirim surat ke saya. Dia minta cerpen untuk Jurnal Kalam bikinan dia dan teman-temannya seperti Ayu Utami, dkk. Problemnya adalah saya sulit menulis jika impulsnya dari luar. Macet banget rasanya. Mesti ada dulu impuls internal dari diri saya, gitu. Apalagi dia minta ceritanya agak panjang, sulit banget untuk saya yang butuh nulis pendek demi kondensasi plot. Habis, kalo nggak kayak gitu, susah bikin ledakan dalam cerpen. Nirwan juga minta kalau bisa masih satu spirit dengan cerpen saya yg muncul di Kompas.

Tapi, ketika nulis “Melankoli" justru saya enggak kepikiran tema yang saya olah di Kompas. Saya malah kepikiran nulis tentang tubuh. Waktu itu saya nemuin buku studi tentang pornografi yang ditulis oleh Susan Griffin, judulnya Pornography and Silence. Argumen dia menarik: dalam pornografi tidak ada cinta, tidak ada sex dan magisnya, tidak ada pembebasan, dan yang ada justru kebencian, ketakutan dan dan kecurigaan akan tubuh. Kemudian hal tersebut dieksternalisasikan oleh kreator pornografi laki-laki ke artis/tokoh perempuan yang di karakter mereka di film/bacaan pornografi. Jadi, menurut Susan Griffin, pornografi bukan membebaskan seksualitas perempuan dan justru sebaliknya. Buku itu bagus sekali, saya menemukan dan membaca buku itu di tahun 1992.

Jadi akhirnya saya bikin karakter laki-laki yang benci sekaligus ingin berkenalan lebih jauh dengan tubuhnya. Lalu, eksplorasi si laki-laki akan ketubuhannya yang terus berlanjut setelah ia menikah pun makin menjadi. Rangkaian kontemplasi ketubuhan di depan cermin pun menemui mandek, buntu penyelesaian. Sementara itu, istrinya semakin jauh, rumah tangganya semakin berantakan, dan frustasinya demikian memuncak karena tak juga selesai dan berdamai dengan tubuhnya. Hingga akhirnya kesabarannya habis, dan ia sampai pada adegan final cerpen tersebut: pemotongan penis, simbol maskulinitasnya, yang ia anggap sumber masalah dalam hidupnya. Yah, begitulah dia, enggak sabaran. Padahal kan, mempelajari ketubuhan itu mungkin proses yang terus kontinyu seumur hidup.

A: I see. Tadinya aku kira pemotongan penis itu kayak realisasi akan sesuatu terkait ketubuhan secara simbolik, ternyata justru malah puncak keputusasaan ya. Baik, lanjut.

"Sentimentalisme Calon Mayat" dan "Meteorit" dimuat di Kompas tahun 1995 dan masuk ke dalam antologi cerpen Kompas tahun 1996, Pistol Perdamaian. Di buku itu, alm. Toeti Heraty dan Faruk menilai bahwa cerita-cerita absurd menjadi eskapisme kolektif para cerpenis di tahun tersebut. Bagaimana tanggapan anda terhadap pendapat tersebut, dan, apa pendapat anda terhadap karya peers anda dalam antologi Kompas tahun itu?

S: Pernyataan Toeti Heraty dan Faruk itu benar. Eskapisme. "Rumah" kita lagi kebakaran, masa' kita mau diam aja di dalam? Cabut lah, hahaha. Di antara peers di buku itu, yang saya suka banget adalah Joni Ariadinata. Cerpennya ada di Cerpen Pilihan Kompas 1994 judulnya "Lampor" dan satu karya itu udah cukup buat bikin saya ngefans banget sama dia. Cerpen itu pendek dan padat kayak lukisan. Waktu itu sampai saya samperin rumahnya di Yogya, di lingkungan Kali Gajah Wong, dan nanya: Apa sih rahasianya bikin cerpen kayak gini? Pokoknya saya terpukau lah. Terus di buku antologi cerpen Kompas Pistol Perdamaian saya juga ngefans cerpennya Afrizal Malna, “Menanam Karen di Tengah Hujan”. Yah, dia idola saya sejak 1995. Cerpen "Pistol Perdamaian"-nya sendiri, karya Kuntowijoyo, saya suka. Tapi, secara umum, saya merasa tidak nyambung dengan karya-karya sastra Kuntowijoyo. Entah kenapa. Mungkin karena nggak ada chemistry aja antara saya dan karya-karya bliyo.

Tadi Adib nanyanya kan peers, tapi justru saya lebih banyak terpengaruh dari yang bukan peers. Malah pendahulu. Kayak Iwan Simatupang, beliau gokil banget. Di satu sisi dia kocak, di sisi lain kalo dipikir-pikir masuk akal juga sih. Keren. Emangnya ngecat tembok pekuburan bukan suatu perbuatan yang besar? Itu besar buat saya. Saya memilih baca cerita beliau secara literal aja, tanpa mesti gali metafor-metafornya. Persis kayak saya mengonsumsi Afrizal, nikmatin aja. Bukunya yang Arsitektur Hujan cukup banyak membantu memahami love-hate relationship saya sama Jakarta.

A: Hahaha. Aku juga pas baca Ziarah "polosan" aja karena kebetulan waktu itu juga belum pandai baca metafor. Btw pengalaman nikmatin Arsitektur Hujan itu buatku liberating banget. Abstrak, ruwet, gelap dan nggak ada alur. Chaos and Cathartic. Yoi.

S: Persis. Bukankah itu Jakarta? Bukankah itu tentang kawasan Pasar Senen dan sekitarnya? Hahaha, dia kan tinggal di Kramat Senen tuh dulu. Kalau saya sih di Karet Tengsin, tapi kayaknya rasanya nggak jauh beda. Terus, selain Iwan Simatupang dan Afrizal, ada Budi Darma juga. Dia rutin nampilin tokoh-tokoh yang jauh dari kondisi "baik-baik" saja. Segalanya, baik-buruk, kontradiksi-kontradiksi, ditampilin apa adanya. Soalnya apa ya, kalau disuruh nulis cerpen yang secara terang mengajak ke kebaikan gitu jujur saya nggak bisa. Nah, Iwan Simatupang, Budi Darma, Edgar Allan Poe, dan Donald Barthelme bikin saya berani nulis tentang karakter-karakter di luar nalar dan paham bahwa cerpen itu nggak mesti ada muatan moral yang hitam-putih.

menang penghargaan kemendikbudristek 2023 kategori kumcer

A: Oke, jawaban-jawaban tadi cukup melengkapi pertanyaan sebelumnya tentang influence. Terus, cerpen penutup "Surabaya Johnny" kan berjarak lima tahun tuh dari cerpen "Tirai" yang terbit di '97. Dalam kekosongan sepanjang lima tahun itu—yang juga melewati pergeseran lanskap politik pasca kejatuhan Orde Baru—adakah urgensi yang kembali memanggil Om Sony hingga kemudian menulis "Surabaya Johnny"? Maybe fenomena pasca Orba yang spesifik dan akhirnya mantik Om untuk nulis cerpen kayak gitu?

S: '97 saya berhenti nulis ada beberapa alasan: cara berpikir saya udah mulai beda, terus saya pengin cepet lulus. Bokap udah meninggal dunia, saya harus cepat bantu keluarga. Akhirnya lebih fokus nulis skripsi sampai saya lulus di '98. Terus saya kerja. Ngajar. Di situlah saya baru sempat membaca lagi, tapi dalam rangka riset. Saya ngajar psikologi, tapi justru minat saya udah sedemikian shifting ke antropologi, sejarah, dan literary criticism. Dulu riset saya tentang gerakan buruh. Jadi, justru saya baru serius menekuni "kekirian" tuh setelah lulus. Sebelum lulus sih saya lebih mendefinisikan diri sebagai orang postmo yang senang bermain-main. Setelah lulus tuh saya lekat dengan critical theory, mau ngejelasin fenomena politik apa-apa selalu balik ke material forces of production dan social relations of production. Bacaan saya jadi kajian-kajian sejarah politik, antrop, dan literary criticism tentang Indonesia. Kalau sebelumnya saya berpikir tentang Indonesia lewat pendekatan imajinasi, romantisisme dan estetika, saat itu saya mengenal lagi Indonesia lewat area studies, khususnya Southeast Asian Studies. Makanya ada karakter Pieter Jansma masuk cerpen saya, karena state saya lagi di situ banget.

Beberapa penulis akademik yang berpengaruh buat saya tuh kayak James T. Siegel, antropolog Amerika ahli Indonesia yang saya kutip di cerpen, terus Ben Anderson yang nulis Imagined Communities dan Rudolf Mrázek dengan kitab Engineers of Happy Land-nya. Ketika baca karya tiga orang ini saya heran, terpesona, kok ini studi akademik tapi bawainnya lebih kayak sastra? Saya pengen juga ah nulis kayak gini. Akhirnya ya produknya "Surabaya Johnny" itu.

A: Hooo, makanya di cerpen tersebut banyak catatan kaki gituu ya. Terus Om, pendekatan mock-obituary pada "Surabaya Johnny" juga ngasih kesan yang beda banget sama gaya-gaya cerpen lain di buku ini. Tsunami referensi dan interteks intens menggulung pembaca dengan informasi yang deras meluncur tanpa ampun. Gimana rasanya nulis cerpen panjang dengan gaya kayak gini? Apakah anda turut mengalami tèlèr litèrèr seperti karakter anda? Kenapa milih parodiin obituari?

S: Waktu itu saya emang ada kemarahan sama genre obituari. Kayak, "Kalian ini kok kalo nulis obituari kayak ada standar? Pakem banget gitu cara berceritanya, turn of phrases-nya. Seragam amat sih? Emang nggak ada cara lain?" gitu. Tapi kemudian saya dapat ide menarik (nyolong dari orang sih) bahwa kematian itu ngasih kita otoritas untuk bercerita.

Maksudnya gini: kenapa kita terdesak untuk bercerita? Untuk menunda kematian. Contoh konkrit: Dongeng 1001 Malam. Si Syahrazad itu kan sebenarnya dihukum mati, tapi hukumannya bisa ditunda semalam demi semalam jika dia ngasih cerita yang menarik untuk raja Syahriar. Akhirnya dia cerita sampai malam ke 1001, dan akhirnya dibebasin, tapi malah dinikahin sama si raja karena dia pandai bercerita. Jadi motivasi awal paling kuat untuk bercerita tuh bukan berbagi kehidupan, tapi menghindari kematian. Atau mencoba ngehandle kematian orang dekat atau "kematian" diri sendiri yang pasti akan datang. Itu ide yang sangat berkesan buat saya. Makanya saya mesti terusik kematian untuk bercerita, dan justru nggak bisa nulis fiksi ketika saya boleh dibilang berbahagia.

A: Wah, sekarang udah bahagia banget dong berarti.

S: Hahaha. Terus waktu udah mulai sukar nulis cerpen, saya ketemu pacar. Habis itu kami berkeluarga. Makin bahagia saya, makin sukar saya ngarang-ngarang cerpen.

young sony dengan istri

A: Dalam draft Surabaya Johnny ada sebuah chapter yang hilang total di edisi final, yakni chapter "Angkat tangan! Apa agama tuan?" yang membahas tentang konsep dan prinsip agama sebagai pengekangan bertindak dan berpikir. Mengapa memutuskan untuk menghapus chapter tersebut? Adakah perbedaan pandangan anda sebagai penulis dalam menyikapi bagian cerpen tersebut ke hari ini?

S: Tahun 1999, waktu proses nulis “Surabaya Johnny”, saya belum menekuni studi agama secara akademik. Saat itu saya lagi kesengsem sama social sciences dan rasionalitas, setelah di dekade 90an jadi seorang yang romantik dan anti-rasionalitas. Rasionalitas ini saya terapin termasuk dalam menilik kembali dan merepresentasikan ulang pengalaman masa kanak-kanak dan remaja dalam berjumpa dengan praktek beragama. Waktu kecil kan orang tua mensosialisasikan kita kepada praktek-praktek beragama. Namun, pada 1999, saya berpikir bahwa cara para orang tua memperkenalkan agama ke anak-anak tuh tidak memadai. Juga, kadanag kurang simpatik. Misalnya, untuk pertanyaan "kenapa kita harus sholat?”, jawabannya mentok sekadar "ini adalah jalan menuju surga." Waktu saya masih SD, jawaban itu sudah terasa nggak memadai bagi saya. Tapi, waktu SD, saya tentu saja takut sama orang tua dan para guru. Jadi, udah deh, saya jalanin aja. Ikut-ikutan. Sementara itu, ada rasa capek banget ketika pulang sekolah saya terus lanjut ngaji di majlis ta’lim setempat sampai larut sore. Sementara itu, pikiran terus bertanya-tanya: “Apa tujuan sebenarnya dari kegiatan-kegiatan ini?” Harus ada penjelasan yang berterima di hati dan di akal saya kan. Dan ketika masuk SMP, saya makin haus akan penjelasan-penjelasan memadai.

Pertanyaan-pertanyaan saya menjadi-menjadi. Kayak: “Mengapa ada dunia ini? Apaan sebenarnya dunia ini? Kenapa manusia menderita? Kenapa manusia berbuat jahat? Kenapa saya lahir, tumbuh, dan mati? Saya ini apa dan siapa?” Makin banyak pertanyaan, makin gelisah lah saya. Sementara itu, sosok-sosok yang bisa saya akses di lingkungan saya waktu itu—orang tua, guru, dan guru agama—tampaknya tidak cukup berbekal ilmu untuk dapat membantu saya mengerti makna dari (apa lagi jawaban untuk) pertanyaan-pertanyaan saya. Di masa remaja, saya orangnya bertipe “sumbu pendek”. Ibarat kata: mendengar permainan piano berkualitas sub-standard, saya merasa kecewa bukan kepada si pianis yang memang belum piawai tetapi kok malah kepada…si piano dan/atau ke si komposisi musik. Sikap “infantil” saya kala remaja (kekeliruan menempatkan rasa kecewa) dan ketidakcakapan orang tua dan figur pendidik dalam memperkenalkan praktek-praktek beragama adalah dua persoalan yang ingin saya eksplorasi di bagian yang Bung tanyakan tentang draft cerita panjang “Surabaya Johnny”. Namun, pada 1999, ketika menulis bagian itu, saya sendiri (meski waktu itu sudah berusia 28 tahun) belum punya kompetensi mencukupi untuk mengerti duduk perkara dua persoalan itu. Akibatnya, pada bagian itu dalam draft cerita, yang akhirnya bisa saya lakukan adalah sekadar menampilkan dua persoalan itu secara mentah, dangkal, dan…”infantil” juga. Nah, mempertahankan bagian itu di versi final akan berarti sama saja dengan bikin keruh persoalan. Padahal, yang ingin saya capai adalah at least memahami persoalan dan at best mendekatkan diri pada si jawaban.

Adapun ketika di paruh kedua tahun 2022 saya menggarap edisi final dari “Surabaya Johnny”, saya adalah manusia yang berbeda jauh dengan saya yang dulu mulai menggarap draft cerita itu pada 1999. Selain sudah dipermak dan dimatangkan oleh kehidupan, saya, pada 2022, adalah manusia yang wawasan hidupnya sudah di-upgrade oleh beberapa disiplin ilmu, seperti, antara lain, biographical studies, antropologi budaya, kajian agama, dan ilmu sejarah (termasuk emotional and intellectual history), yang merupakan komponen-komponen kunci dalam graduate training saya di Amerika Serikat dalam Southeast Asian Studies (2003-2005) dan Southeast Asian history (2007-2013). Maka, saya, pada 2022 itu, berpendapat bahwa secara simplistik dan karikatural merepresentasikan friksi/pergesekan murid vs. guru, atau anak-anak vs. orang dewasa, dalam ranah pendidikan keagamaan adalah sebuah langkah unfair dan—sekali lagi—infantil. Salah satu “produk” dari penggemblengan intelektual yang saya jalani selama perantauan akademik adalah justru terjadinya peningkatan apresiasi yang luar biasa atas berbagai agama dan, khususnya, agama saya sendiri, Islam. Saya juga semakin mengapresiasi kompleksitas di seputar isu kenapa–ibarat komposisi musik—agama kadang direalisasikan dengan mulia dan kadang diaktualisasikan dengan dehumanisasi.

Artinya, kalau di edisi final “Surabaya Johnny” bagian tentang kesenjangan sikap antara murid dan guru agama perlu dipertahankan, maka bagian ini harus lebih dulu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mencakup nuansa, kompleksitas, balance, konteks, empathy, dan goodwill. Namun, ketika memfinalkan naskah “Surabaya Johnny” di paruh kedua 2022, saya sudah kayak ban kempes. Saya tak punya waktu dan energi untuk melakukan pengembangan yang memenuhi syarat-syarat saya sendiri. Apa lagi, upaya pengembangan semacam itu berpotensi menjadi semacam “rabbit hole”. Jadi, biarin deh, bagian tersebut di-takeout aja. Phobia pada rabbit hole adalah salah satu sebab kenapa saya takut bikin novel. Menciptakan dunia-mikro berbentuk cerpen saja udah bikin saya kewalahan. Apa lagi membangun dunia-makro berwujud novel. Thanks but no thanks.

Dalam intellectual journey saya, salah satu utang budi saya adalah kepada seorang mentor saya ketika studi di Amerika Serikat. Nama bliyo Steve Rubenstein. Ia pribadi pernah studi sebagai calon rabbi. Namun, ia akhirnya berprofesi sebagai antropolog budaya, yang memfokuskan risetnya pada kehidupan masyarakat Shuar di Ekuador. Dari dia saya belajar, antara lain, tentang gimana metode hermeneutika kitab suci dan metode kritik sastra saling memperkaya. It was mind blowing! Studi agama ternyata sama menakjubkannya—atau mungkin lebih menggetarkan dari—studi filsafat. Saya jadi tertarik sama mistisisme dan sufisme, serta integrasi antara syariat dan makrifat. Dunia personal saya sekarang adalah oplosan dari rasionalitas dan mistisisme. Puisi-puisi Afrizal Malna dalam kitab Arsitektur Hujan terus membantu saya memperlakukan diri dan dunia dalam ketegangan kreatif antara rasionalitas dan sebentuk mistisisme. Akibatnya, seperti di masa kanak-kanak dulu, saya kini mulai merasakan kembali bahwa benda-benda “mati” pun sebenarnya hidup. Gelas-gelas di depan kita ini, Bung Adib, adalah “aktor” yang hidup. Literally. Gokil, nggak?

dua legenda sedang nangkring

A: Gokil. Mungkin itu juga ya yang dirasakan Afrizal, makanya ia hampir selalu mempersonifikasi benda. Oke, next: dari jawaban mengenai proses menulis tadi, musik berperan untuk menjaga "setrum" anda ketika menulis cerpen. Anda juga kerap memakai analogi musikal seperti "roman heavy metal" dalam mendeskripsikan novel Ziarah, dan menyetel Venus In Furs dalam pertemuan Surabaya Johnny dengan Pieter Jansma. Boleh digali lebih detail lagi dalam pengalaman konsumsi musik anda? Mungkin tak hanya dalam penulisan cerpen, tapi bagi hidup anda secara keseluruhan.

S: Saya adalah penulis yang rawan writer’s block. Saya sulit menulis lancar tanpa ada hal signifikan yang terjadi. Kalo jadi jurnalis pasti saya udah kena pecat karena nggak bisa menuhin deadline, hahaha. Stimulan saya dulu ada tiga: kopi, rokok dan musik. Rokok, saya udah berhenti, sedangkan kopi dan musik masih jalan sampai hari ini. Selain menjaga setrum tadi, fungsi musik bagi saya tuh juga antara lain untuk menjebol "kolesterol-kolesterol" dalam otak saya supaya inspirasi dan kepenulisan nggak mampet.

A: Musik apa yang lagi didengerin hari ini?

S: Yang baru-baru belum sempat dengar. Terakhir yang berkesan adalah ketika saya ngerjain disertasi tahun 2012-2013, di mana writer’s block saya dalam menggarap disertasi berhasil dibobol oleh musik Sam Cooke yang judulnya "A Change Is Gonna Come". Lagu ini bercerita tentang penindasan dan lingkungan Amerika hari itu yang opresif ke warga kulit hitam seperti Sam Cooke, tapi tone-nya sangat positif. Kayak, masih ada secercah harapan kalau dunia akan berubah, meskipun sedikit. Lagu ini membantu saya membayangkan bagaimana rasanya jadi minoritas di Amerika 60-an, dan akhirnya energi dari lagu ini yang penuh harapan tuh "nonjok" saya untuk ngelanjutin disertasi; bahwa semuanya mungkin, saya bisa nyelesain ini dan kemudian lulus. Dan akhirnya benar, di tengah segudang kendala, saya berhasil selesai dan lulus. Jadi musik itu semacam antidot bagi fakta-fakta brutal dalam hidup, dan seringkali berhasil mendorong saya menembus barikade-barikade.

Momen kayak barusan sering banget kejadian di hidup saya, berulang-ulang, sampai saya menyimpulkan bahwa musik itu nyaris mukijzat. Saya akhirnya bikin tahayul sendiri, bahwa musik tuh bukan sekedar produk dari sang musisi tapi lebih merupakan energi kreatif alam semesta yang berkumpul dan tersalur lewat mereka. Energi ini yang bikin mereka berhasil ngecapture pengalaman spesifik dalam hidup mereka dan mengabstraksinya via musik. Kenapa energi alam? Karena musik terbukti jadi bahasa universal yang melewati batas budaya dan bahasa serta bisa membawa "magic" yang setara dalam hidup para pendengarnya di belahan bumi manapun tanpa peduli latar belakang.

Terus, ngomongin lirik, saya sering membaca wisdom di lirik paling kacangan sekali pun. Biasanya saya terkesima sama satu potongan lirik, menyimpannya dalam kepala, untuk kemudian suatu hari saya kembangin ke dalam sebuah tulisan. "Sentimentalisme Calon Mayat" contohnya, itu elaborasi dari lirik "The Way We Were"-nya Barbra Streisand: cinta dan keadaan happy antara dua orang yang berlangsung singkat dan sekarang telah berakhir, tapi di waktu yang singkat itu, mereka pernah begitu nyambung dan bahagia. Cerpen itu kan pada dasarnya begitu: narrator yang mengharapkan kebahagiaan yang pernah ada di keluarga dan pasangannya tapi nggak pernah kesampaian lagi. Dan karena jiwa yang terus-terusan menuntut kebahagiaan seperti itulah ia akhirnya jadi gila. Makanya sebenarnya di cerpen itu ia ingin memutar balik waktu, persis seperti potongan lirik The Way We Were: "If we had the chance to do it all again, tell me, would we, could we?"

A: Selain musik, anda juga mengambil referensi dari film. Beberapa contohnya adegan final "Sentimentalisme" di bioskop yang mempertontonkan "bulu dada Mel Gibson yang jantan" hingga tokoh Johan di "Tirai" yang anda sebut "berlari seperti Hannibal Lecter di film Silence Of Lambs." Selain itu, percampuran sci-fi dengan horror yang anda lakukan pada “Sentimentalisme” merupakan hal-hal yang umum ditemukan di film-film 70an ala Cronenberg. Bagaimana peran film dalam membentuk imajinasi penulisan anda?

S: Ketika nulis “Sentimentalisme”, ada dua film yang menghantui saya dalam menulis cerita. Yang pertama adalah seri film pendek Hitchcock (Alfred Hitchcock Presents) untuk TV, yang selalu dimulai dengan semacam pidato ke penonton. Dulu saya nonton itu di TVRI, dan menurut saya karya Hitchcock yang itu merupakan sesuatu yang segar banget untuk ngepresent sebuah cerita. Terus saya juga suka Twilight Zone, film itu banyak plot twist dan perubahan perspektif yang akhirnya saya pakai buat nulis. Saya juga ngutip Tales From Darkside di cerpen “Tirai”. Selain itu mungkin juga dari pop culture seperti MTV, di mana klip musik sambung menyambung gitu aja tanpa jeda, hingga kemudian menginspirasi saya untuk lompat dari adegan ke adegan tanpa bridging dan langsung “hajar bleh”. Babat aja bridge-nya, habisin. Hahaha.

A: Dewasa ini, banyak hal dari kumcer Sentimentalisme yang tetap relevan. Contohnya hiperrealitas pada "Tirai" yang sekarang teramplifikasi lewat media sosial. Jika di cerpen itu sang karakter masih terasa nggak nyaman dengan seluruh kejadian hidup sebagai konten a la reality show, hari ini justru media sosial membuat banyak orang menjual jeroan kehidupan pribadinya ke publik secara sukarela. Gimana sih refleksi Om Sony akan tema ini?

S: Wah, kita sudah di titik yang jauh lebih mengerikan dari isi cerpen “Tirai" itu. Di situ, si Johan masih nolak. Sekarang kita malah menyerahkan hidup kita menjadi konten. Demi duit, ngontenin diri. Itu terjadi hari ini. Tapi, ketika saya nulis, eranya masih televisi dan saya hanya dapat membayangkannya sebatas sampai di situ. Saya sendiri sih cukup senang karena akhirnya cerpen ini menjadi jauh lebih relevan lagi ketimbang di hari cerpen ini pertama diterbitkan.

Nah, karena keadaannya yang semakin parah, jadi sebagai alat untuk merekam penyakit sosial, harusnya cerpen-cerpen hari ini bisa jauh lebih intens, lebih gokil dan lebih progresif lagi. Cerpen-cerpen saya itu tuh sebenarnya masih sangat konservatif, Dib. Percaya nggak kamu?

A: Hm… masa iya? Aku nggak sadar itu sih. Buatku, karakter laki-laki yang rada submisif dan gokil kayak Johan gitu progresif banget malah. Hahaha. Tapi aku memang baca pengantar di Pistol Perdamaian yang bilang cerpen-cerpen angkatan ini sebenarnya konservatif. Tapi aku belum paham gimananya.

S: Jadi, menurut mereka berdua (Toeti Heraty dan Faruk) itu Sony dan Afrizal Malna sebenarnya konservatif. Apa bedanya cerpen Sony Karsono dengan, let’s say, khotbah pemuka agama? Enggak ada. Dan saya mengiyakan itu. Kenapa?

Coba lihat “Sentimentalisme Calon Mayat”. Itu kan sebenarnya saya masih berpegang sama narasi keluarga utuh yang saling mencintai sebagai sebuah ideal. Cuma, karakter utamanya, si Johan, saya bentuk sebagai hasil dari kegagalan kasih sayang di keluarga. Nih, gini loh, kalau kamu sebagai orang tua nggak bisa mencintai dan nggak mau belajar mencintai, ini loh yang akan jadi output-nya. Narasi yang family-centered ini kan konservatif banget. Nah Pak Faruk dan Bu Toeti ngelihat ini. Jadi, meski penyampaiannya agak ekstrim, sebenarnya secara muatan cerpen saya masih konservatif. Cuma saya bikin bentuknya jadi begitu karena saya tipe yang nggak suka kalo diceramahin secara langsung. Jadi saya balut dengan cerita yang nyentrik. Padahal, isinya preachy banget, tau! Hahaha.

A: Menarik, Om. Sudut pandang itu aku nggak kepikiran, tapi ada benernya juga sih. Cuma ya angle ceritamu bagus dan engaging, jadi kita terhisap banget sama plotnya dan sama sekali nggak merasa digurui atau dikhotbahi tentang nilai-nilai moral itu. Oke, lanjut om. Selepas "Surabaya Johnny", anda tak lagi menulis dalam medium cerpen dan lebih banyak menulis esai-esai akademis terkait pekerjaan yang anda jalani. Bagaimana perbedaan pengalaman dalam menggarap penulisan fiksi dan essay? Mana yang anda lebih nikmati? Atau justru keduanya menawarkan tèlèr litèrèr yang mirip-tapi-beda?

S: Penyampaian esai akademik saya, kalau kamu baca, lebih banyak bercerita dan sastranya seperti karya-karya fiksi saya. Bedanya di tema, topik, sama proses untuk mencapai informasinya yang mesti melalui riset akademik. Kalau sastra kan nggak mesti kaku dan sok ilmiah, lebih banyak pakai intuisi serta emosi dalam mengolah suatu fenomena. Sementara, untuk esai akademik, nggak bisa berdasarkan intuisi dan rasa aja dalam menginvestigasi fenomena, tapi harus didukung bukti-bukti.

Jadi, passion saya dalam menulis cerpen itu saya alihin ke esai akademik. Habis gimana Dib, saya kan berpikir: “Emang bisa saya hidup dari creative writing?” Berbeda dengan novel, cerpen—apa lagi yang sok “sastrawi” kayak karya-karya saya—nyaris mustahil menghasilkan nafkah reguler. Nah, dibanding cerpen dan novel, maka puisi adalah “jalan pedang” yang hardcore. Ha ha ha. Proses bikinnya sih “wow”. Namun, honornya: “wadidaw”. Dulu, sekali kirim cerpen ke koran di Jakarta, saya dapat honor lumayan banget untuk ukuran mahasiswa. Contoh, ketika satu cerpen saya dimuat di Kompas pada 1995, honornya Rp 300.000. Waktu itu, US$ 1 setara dengan sekitar Rp 2.000. Tapi, honor Kompas itu pun akhirnya terasa minim bagi saya yang sedang berancang-ancang mau berumahtangga. Nggak cukup dong. Di sisi lain, riset akademik terapan justru bisa diandalkan sebagai sumber nafkah periodik. Jadi, sejak itu, saya berfokus ke profesi dosen dan ke penulisan akademik aja. Sekarang, saya masih mengidap phobia untuk nulis fiksi lagi.

ulasan Nanda Alifya Rahimah atas Sentimentalisme Calon Mayat di Jawapos 25/3/2023

A: Gapapa, om. Sants. Take your time aja. Semoga nanti di masa depan dapat kesempatan dan ilham lagi untuk menyentuh fiksi. Aku sabar menunggu kok, hahaha. Baiklah, pertanyaan terakhir kalau gitu. Sebutkan lima kuliner favorit anda sepanjang masa?

S: Satu, kangkung belacan ala Malaysia. Dua, soto mie Bogor Jl. Tole Iskandar, Depok. Ketiga, nasi tumpeng Kediri, kampung halaman istri saya. Keempat, bebek goreng Sinjay Bangkalan, Madura. Hum…untuk kelima, boleh minuman?

A: Boleh dong.

S: Kopi flat white Sydney. Kata orang, yang di Melbourne lebih enak, tapi itu saya belum pernah coba. Kedai favorit saya untuk minum flat white di Sydney adalah Toby’s Estate. Enak banget. Juara.*

_________________________

PS: Ketika wawancara ini diterbitkan, Sentimentalisme Calon Mayat telah menyabet beberapa penghargaan antara lain “Karya Prosa Pilihan Tempo 2023", “Anugerah Sutasoma 2023 Balai Bahasa Jawa Timur" dan " Penghargaan Sastra Kemendikbudristek 2023". Selamat untuk Sentimetalisme dan Sony Karsono!

--

--