Review Album: “Reality Club Presents….” oleh Reality Club

Adib Arkan
7 min readJun 28, 2023

--

REALITY CLUB PRESENTS…

SKOR: 3.9/10

oleh Adib Arkan dan Sulthon Kamil

Reality Club sedang berdiri tegak di atas puncak kreativitas mereka. Setelah album kedua What Do You Really Know? yang banyak menambang palet dari rock alternatif, kini mereka tiba dengan sepaket keping lanjutan ambisius: album penuh berjudul Reality Club Presents… lengkap dengan mini film pendamping. Mendeskripsikan diri sebagai “PH berkedok band”, mereka mendedikasikan keping visual penuh untuk tiap lagu dalam album, lengkap dengan penyelenggaraan screening-nya di bioskop lokal. Usaha mereka berbuah manis: mereka memenangi Munich Music Video Award 2023 untuk video klip “Dancing In The Breeze Alone”, yang mereka akui juga menjadi kejutan bagi diri mereka sendiri. Namun ada baiknya bila kehebohan berita-berita tersebut tidak menutup mata anda untuk membaca lebih dekat inti muatan album.

Berbeda dengan album-album mereka sebelumnya, Sepuluh lagu pada album ini keluar dari singularitas musikal dengan mengambil palet dari influences yang beragam, yang pada akhirnya menjadikan album ini lebih bertumpu pada konsep sinematik yang mereka bangun dengan narasi antar lagu alih-alih keterkaitan secara sonic. Mungkin seperti sebuah film antologi di mana beberapa sutradara mengaplikasikan beragam versi gaya khasnya masing-masing di bawah satu tema, dan tema kali ini: cinta. Sepuluh “mini monuments of love” ini mencakup beragam skenario percintaan. “Desire”, misalnya, berbicara tentang salah satu bagian sentral dari cinta, yakni nafsu. Sedangkan “I Wish I Was Your Joke” yang penulisan lagunya nampak bergantung pada metafora tunggal, dapat juga mengupas interpretasi tentang ekspresi cinta submisif yang hadir dengan subliminal seperti: “Use me then you’ll ignore it /I don’t mind at all /I’ll be your late night call.”

Untungnya, mereka cukup mampu untuk merealisasikan rentang keragaman sound yang mereka proyeksikan. Pada “Dancing in the Breeze Alone” yang terinspirasi gim koboi Red Dead Redemption (yiha!), misalnya, mereka cukup dapat menangkap marwah sound Spaghetti Western Morricone dalam gim itu. Dalam hal ini, mereka merupakan pengamat yang piawai: menginkorporasi bebunyian alam mulai dari teriakan elang, tapak-tapak lacu kuda, marching drum perang, dentang lonceng gereja, suara siul yang meliuk seperti logo centang Nike; sekaligus menjalar mengisi penuh seluruh box kosong pada kuesioner Seberapa-Klise-Musik-Ini. Detail-detail tersebut berakhir karikatural, dan, bukannya terlihat seperti pengaplikasian yang cerdas dari sebuah pengaruh musikal, justru terdengar seperti sekedar coba-coba atas sebuah gaya.

Sesekali mereka masih mengunjungi kembali akar musik mereka yakni alternative rock berbasis gitar. Namun, kali ini, mereka terlihat kelelahan dengan formula usang tersebut. Contoh konkritnya dapat dilihat pada nomor upbeat seperti “Am I Bothering You” yang terdengar seperti band cover The Strokes beranggotakan anak-anak SMA yang mencoba membuat materi original pertama mereka sendiri yang lahir dari jamming memainkan riff “Hard To Explain” berulang-ulang.

Momen-momen baik justru datang ketika mereka mendorong diri ke batas kreatif paling ekstrim mereka. “Tell Me I’m Wrong” terdengar berkilau justru karena Reality Club tidak terdengar seperti Reality Club di sini. Pendekatan vokal jazz 50-an ala soundtrack James Bond yang diperkuat oleh crooning Fathia Izzati yang cukup merdu menunjukkan seberapa besar talenta yang sebenarnya mereka miliki. Selain itu, beat switch pada “Desire” juga merupakan testamen atas twist musikal mereka yang paling tak dapat diprediksi; mentransformasi sebuah lagu electro rock dengan interpolasi beat trap 808 yang modern dan groovy menghentak.

Diskursus tentang imitasi pada seni dan musik seolah telah jadi perdebatan abadi. Ada sebuah idiom terkenal menyatakan “good artists borrow, great artists steal.” Untuk beberapa kasus pengandaian itu mungkin benar, walau tentu saja selalu dapat dipertanyakan. Banyak musisi — seperti juga Reality Club — tak malu mengekspresikan kecintaannya terhadap idola mereka. Ahmad Dhani, misalnya. Dari cover “Bohemian Rhapsody” hingga “Mustapha”, ia tak pernah menyembunyikan kegemarannya kepada Queen. Pada karya-karya asli ciptaannya pun ia seringkali dengan mudah menjahit baroque glam-rock ala band idolanya tersebut dengan struktur pop Indonesia. Dari generasi terbaru pun tak luput hadir band seperti The Jansen, yang mengemulasi formula klasik mid-tempo punk tiga kord ala Ramones namun dengan taburan lirik Indonesia yang kontan akan mengingatkan pendengar kepada “Konservatif”-nya The Adams, bertemakan cinta monyet serta keindahan momen sederhana: “Sore di Kebun Raya/ Di atas kain kita bertamasya/ Silau matahari terhalangi/ Sebaya kita berakhir di sini” sebelum tiba-tiba saja penggambaran cerah bagai langit siang bolong tersebut secara mendadak gelap digelayuti awan hitam nihilisme: “Bicara tentang masa depan/ hilang sudah raut wajahmu/ mampus dihajar harapanmu.” Dengan upaya-upaya mendistorsi pengaruh musik roots melalui lirik cerah (yang tema dan penulisannya juga dipengaruhi band pendahulu) dengan twist imagery mendadak gelap seperti barusan, terlihat jelas bahwa lirisisme menjadi jalan pedang yang The Jansen pilih untuk melawan anxiety of influences alias “kecemasan akan pengaruh” pada karya-karya mereka. Dan mereka cukup berhasil dalam menghadapi kecemasan terkait hal ini. Ketika perasaan-perasaan paling jujur dan telanjang telah berhasil diutarakan dengan baik melalui komposisi kata, maka komposisi musikal pun tak mesti jauh dari bentuk akarnya untuk menjadi bersinar penuh keotentikan.

Ketika diwawancarai oleh Soleh Solihun mengenai tuduhan menjiplak Arctic Monkeys, Faiz Saripudin, sang penulis lagu sekaligus gitaris Reality Club mengatakan “There’s nothing new under the sun kan, semuanya juga ya tangga nada cuman berapa, chord progression juga udah ditemuin semua” dan ia melanjutkan kalimat tersebut dengan “the only unique thing you can do is put your own story on it.” Kalau memang hal tersebut benar, mengapa hingga hari ini kita masih terus mendapatkan musik-musik dengan keunikan maksimal dan bentuk yang segar setiap bulannya setelah lebih dari 50 tahun musik pop ditemukan? Sebuah pertanyaan baru juga mau tak mau muncul: seberapa menarik “your own story” yang coba mereka sampaikan? Dengan statement tersebut, Faiz seolah menekankan secara tak langsung bahwa kekuatan utama Reality Club adalah aspek penulisan lagu alias songwriting.

Padahal, justru songwriting buruk lah yang menggembosi seluruh ban musikal yang menopang album ini. Lirik-lirik seringkali terlalu berdesakan dengan metafora yang berbelit seperti: “I wish i was your joke/ Passed around on sordid bars / When you can’t drive your car anymore / You’ll keep me in my back pocket” dengan penggunaan imagery lompat-lompat tak efisien dan tak masuk akal untuk menggambarkan romantic abuse. Setelah inti dari subjek dipasang sebagai kalimat pertama (“I wish i was a joke”) mereka justru secara aktif mencari cara-cara yang rumit dalam bercerita (pergi ke sordid bar sampai mabuk, hanya untuk meratap agar dianggap sebagai joke dan disimpan di “kantong belakang.” Bingung? Sama!) pada baris-baris lanjutannya. Hal ini akhirnya bermuara di penulisan lirik yang tawar dan minim kejujuran. Alih-alih mencoba menggambarkan perasaan yang nyata, mereka malah terlihat berusaha untuk menjadi keren.

Penulisan metaforik nyentrik ala Alex Turner tak pernah spesial-spesial amat, namun meski begitu, terkadang ia menulis beberapa baris yang cukup seru seperti: “I took the batteries out my mysticism/ And put them i my thinking cap” dan “If you’re gonna try to walk on water/ Make sure you wear your comfortable shoes.” Ketika dibandingkan dengan ide lirikal Arctic Monkeys — perbandingan yang sah-sah saja sejak mereka secara terbuka mengaku terpengaruh oleh penulisan lirik Alex Turner — penggambaran yang dipahat Reality Club terasa datar. Ambil contoh line seperti: “With an empty harmony / we are dancing in the breeze alone” yang terasa seperti metafor dangkal untuk menggambarkan hubungan yang kian memudar. Line tersebut berlanjut dengan “Well only the weak / could ever abide and play that game”, sebuah line yang Faiz coba elaborasikan pada video bedah lirik. Pada video itu, menurutnya, kata “weak” pada baris tersebut adalah perasaan “sentimental” dan “emosional.” Hal ini merupakan sebuah pandangan yang patut dipertanyakan. Sejak kapan berlaku demikian? Bukankah selama ini “sentimental” dan “emosional” justru sering kali menjadi bahan bakar untuk penciptaan karya para penulis?

Lirik-lirik buruk terus datang bertubrukan seperti kecelakaan beruntun. Contoh lain adalah: “Wait for your heart / I’m your lover boy, baby doll” dan “Made a promise to my baby / I swore i wouldn’t let him go / lately it’s been crazy ’cause we won’t take it slow” yang merupakan baris-baris yang sangat mungkin anda temukan di dinding toilet SMA sebagai curhatan liar remaja tanggung dari pada sebuah lagu dari musisi yang mengklaim bahwa ia memiliki “story” yang unik. Lagu penutup yang megah, “Love Epiphany”, benar-benar menjadi kendaraan paling ujung dan paling hancur lebur dari kecelakaan beruntun tersebut. Pada lagu ini, Faiz terlihat melakukan hal yang seluruh penulis lagu terbaik sejak dulu selalu hindari — mencoba menjelaskan segala hal sekaligus. Dengan liriknya ia mencoba melakukan suatu hal yang demikian berat; yakni merangkum seluruh spektrum cinta pada seluruh tahap kehidupan. Dan, tentunya, sudah dapat diduga sejak awal: ia gagal total. Hasilnya adalah lirik preachy dan patronizing (seperti penggunaan subjek “you” dan “we” pada line-line macam “You use your finite sense of humor/ but you’re always wondering what she’ll infer” dan “we’re just as clueless as the rest” lengkap dengan tone know-it-all (“Oh such complex human nature!”) yang menggurui dalam penyampaiannya, persis seperti khotbah seorang nabi cinta yang mengambil pekerjaan sampingan sebagai filsuf romansa. Khotbah tersebut oleh diakhiri oleh ayat-ayat yang bukannya menyegarkan rohani, malah terasa konyol dan menjengkelkan para jemaat: “Flirty 30/ Romance has thawed / Nifty 50/ My sex drive drops.”

Fathia Izzati mengklaim pada sebuah interview kalau “nggak mungkin” sebuah musisi “completely beda” dari pengaruh utamanya. “Pasti ya, namanya influence kan ada” lanjutnya. Bagaimanapun, sentimen ini arguably mempengaruhi identitas musikal mereka. “Arrowhead Man” bukannya terdengar seperti Reality Club mencoba mengemulasi sound The Beatles; tapi justru terdengar seperti Reality Club mencoba mengemulasi Arctic Monkeys yang sedang mencoba mengemulasi sound The Beatles. Ketika Hindia secara eksplisit menyampaikan bahwa “Evaluasi” miliknya meng-copy salah satu lagu dari band Bleachers, tidak terlalu banyak yang peduli, karena pada hari itu orang terlalu berfokus pada musiknya (dan diskursus yang melingkari musik itu sendiri.) Oleh karena itu, ketika yang pertama di-notice para pendengar adalah kemiripan gaya dengan sebuah musisi pendahulu, mungkinkah hal tersebut merupakan tanda bahwa musik karya anda nyatanya tak cukup baik untuk mendistraksi pendengar akan hal itu? Kejahatannya memang bukan terletak pada kegiatan mencuri itu sendiri, namun apa yang dilakukan dengan barang curian yang didapatkan.*

--

--

Responses (2)