Review Album: "Adulting For Dummies" oleh Basboi

Adib Arkan
8 min readAug 5, 2023

--

swear this is our last time using this pitchfork format. our new and fresh design otw!

Skor: 8.4/10

Reviewed by Adib Arkan & Sulthon Kamil
Written by Adib Arkan

Pada tahun 2023, wajah Baskara Rizqullah alias Basboi dapat ditemui di tiap belokan: di TV lokal, di billboard sepanjang kolong MRT Blok M, di sederet feed akun IG brand lokal, di podcast-podcast Youtube. Mari buka aplikasi delivery anda: ia muncul di banner Kopi Kenangan. Atau nyalakan radio, putar ke 88.4 FM jam 6-10 pagi: suara renyahnya empuk bersandar di telinga anda. Setahun lalu ia mendesain vespa sapi pink dan terbang ke Paris untuk menghadiri acara yang juga mengundang role model-nya Tyler, The Creator sebagai sesama anggota keluarga besar Converse. Sepulang dari sana ia resmi jadi salah satu BA merk sepatu tersebut di Indonesia.

Kerjasama musikalnya tak kalah panen. Tahun ini, ia mengomposisi jingle Pop Mie hingga soundtrack series WeTV, Mozachiko, berjudul "Big City Cash." Untuk ukuran rapper yang vulgar melukis adegan fine dining kanibalistik dengan menu kepala musuh dimasak gulai pada albumnya, sederet pencapaian mainstream ini cukup impresif. Tak banyak rapper lokal bergerak subversif menginfiltrasi ala Scott Walker ke dalam kesadaran mainstream lokal yang masih cenderung kaku selagi berhasil mempertahankan persona menyenangkan lengkap dengan visi artistry yang eksentrik pada publik.

Mungkin hidup yang ia jalani berperan secara simbolik bagi karyanya: pop dan riang pada permukaan, kompleks penuh kedalaman pada atomnya. Kejeniusannya mudah saja terabaikan ketika kita luput memperhatikan ia secara detail. Talenta utama Basboi adalah menyampaikan sesuatu yang cerdas dalam gaya yang sekilas terdengar konyol. Adulting For Dummies, album debut sekaligus checkpoint musikal keduanya setelah EP Fresh Graduate (2019), merupakan testamen terhadap keunikan talenta tersebut.

First of all, Adulting For Dummies merupakan karya bildungsroman abad 21; sekeping musikal bertema coming-of-age yang menjadi respon atas lanskap urban yang terus berkembang. Album ini merupakan distilasi dari perjalanan serta struggle Basboi sebagai perantau di Jakarta dengan segala tekanan yang menyertainya baik dari segi karir, finansial, hingga mental.

Latar belakang laboratorium Adulting dapat ditarik balik ke tiga tahun yang lalu, tepatnya pada Maret 2020. Pada bulan itu, karir rapnya yang mulai menanjak mendadak gembos. Pembatasan konser membuat impresi besar dari single yang ia rilis beberapa bulan sebelumnya, "Make Me Proud", tak berarti apa-apa. Optimisme yang berkilat-kilat pada baris seperti "Imma be a billionaire/buy ma mama a new house and a new tupperware" padam secara ironis ketika ia mesti pulang ke rumah orang tuanya di Medan karena badai COVID. Beberapa bulan kemudian ia kembali ke kosnya di Jakarta, terseok tanpa panggung. Otomatis ia tak memiliki pemasukan. "Uang gue pernah nyisa gope di tengah bulan, dan gue kejebak lifestyle yang membutuhkan lebih dari gope untuk bertahan sampai akhir bulan. Waktu itu duit gue cuma dari buka commission drawing, ngegambarin couples, buat kado, gitu-gitu dah. Nggak nentu." ujar Basboi pada salah satu kesempatan.

Seperti yang dirasakan hampir seluruh pegiat industri entertainment pada badai COVID, krisis eksistensial pun akhirnya menerpa Basboi selama berbulan-bulan. Keberuntungan baru kembali menyambanginya pada akhir tahun, di mana ia mengambil penawaran kontrak yang ditawarkan oleh Dominion Records. Setelahnya ia merilis single ketiga "Gem In I" dan akhirnya memiliki sambungan uang untuk bernafas serta melanjutkan produksi album. Renungan dari bulan-bulan sulit ini kemudian membentuk jadi konsep utama Adulting, yang ia tulis sebagai buku panduan dalam mengenali diri sendiri—mulai dari self-pity ("Make Me Doubt"), penerimaan ("i 2 i"), pendewasaan ("Grown Up"), materialisme ("CHING"), hingga cinta ("Come Over (I’m In Tresno)")—sebagai bekal bertahan sebagai perantau, dan, pada waktu yang sama, seorang "adult" alias manusia dewasa.

Langkah pertama: merancang aransemen pop yang catchy dan penuh warna sebagai kendaraan—kuda troya dengan jubah manik-manik bermandikan glitter. Dalam mewujudkannya, Basboi mengajak berbagai producer—Panji "Mildwaves", HNATA, Riza Rinanto, Ikki CVX, Mouzect, Stanizesters—ke dalam dapur rekaman, setelah sebelumnya lagu dan lirik ia tulis bermodal type beat di Youtube atau alunan gitar akustik dipetik sendiri. Hasilnya adalah sepuluh beat belang-belang yang sekaligus berhasil menunjang dinamika mood narasi. Ambisi eksperimen pop yang telah hadir sejak jazz/trap ala Fresh Graduate kini dieksplor dan dieksekusi dengan lebih fokus dan matang. Pada "CHING", ia mengolah 808 dengan sample alunan keroncong yang mewakili suara khas Jakarta, kota yang baru ia tinggali satu tahun (ketika menulis Adulting) untuk mencari nafkah. "Happy Birthday" hadir dengan petikan gitar bossanova yang memberi kontras antara beat cerah dengan rap introspektif, seperti seseorang gagal bahagia di hari yang seharusnya indah. Beat switch dari bouncy trap ke pop jazz pada "FYI" mencerminkan perpindahan mood dalam menghadapi haters, dari agresif ke dalam mode IDGAF yang santai. Milestone musikal album ini adalah trek penutup "Bismillah," di mana ia mempersembahkan sebuah gospel lengkap dengan claps, snaps, dan paduan suara yang menyerukan doa seorang muslim akan harapan; sebuah peleburan akan dua kultur religi yang menarik dan jarang ditemukan dalam musik pop Indonesia. Mendengar lagu megah ini seringkali akan membuat kita sulit menahan diri untuk bernyanyi bersama sekaligus dalam hati menyahut dengan ungkapan balasan yang juga menembus sekat religi: Amin.

Selain beat-beat penuh warna, kualitas pop pada musik Adulting juga mendapat suntikan steroid dari vokal Basboi yang sedemikian ekspresif dalam menggendong manuver-manuver melodik pada sepuluh lagu di album ini. Verse rap yang ia tulis hampir selalu disampaikan dengan setengah bernyanyi seperti pada verse "i 2 i" dan "Come Over, I'm In Tresno." Bahkan pada seluruh chorus ia bernyanyi penuh, lengkap dengan layer-layernya meski menurut sang ayah yang menonton live, ia perlu "segera mencari guru les vokal."

Pada banyak kasus, justru keterbatasan melodik rapper-lah yang membuat effort menyanyi mereka menjadi jujur dan penuh emosi. Album 808s and Heartbreak oleh Kanye West dan IGOR oleh Tyler, The Creator adalah contohnya. Di Indonesia, rapper Joe Million berhasil mengekspos kerapuhan emosi pada vokalnya setelah puluhan kali take bernyanyi chorus "SLXT." Basboi punya cara lain dalam mengatasi keterbatasan teknikal. Dalam mode bernyanyi, ia selalu menggubah aransemen layer vokal untuk menyuntik emosi lebih ke dalam nyanyiannya. Contohnya pada verse penutup "Make Me Doubt" yang terasa emosional oleh vokal latar yang seolah bersahutan whining mengafirmasi keresahannya, juga persis seperti choir pada "Bismillah" yang mempertebal harapan-harapan perantau yang ia nyanyikan pada chorus.

Langkah kedua: menu utama sekaligus pencapaian stylistic tertinggi pada Adulting, yakni lirisisme penuh intrik dengan utilisasi teknik codeswitch alias pergantian kode bahasa. Teknik ini sudah digunakan sejak album rap pertama di Indonesia, Ku Ingin Kembali (1993) oleh Iwa K, tepatnya di trek "Batman Kasarung" yang berkisah dengan bahasa Sunda-Inggris. Bahkan dekade sebelumnya Benyamin Sueb sudah menulis Betawi-Inggris pada trek "Superman". Selain itu, pada tahun 2010, Zeke Khaseli juga menggunakan teknik penulisan Indonesia-Inggris pada album solo absurdist-nya Salacca Zalacca. Ada persamaan tentang penggunaan codeswitch dari para pendahulu ini, yakni teknik tersebut diolah untuk memberikan efek komik dan humor. Dalam komik selalu muncul karakter-karakter unik: Superman Betawi dan Batman Kasarung, Boylien dan Om Patung. Basboi, pada ilustrasi buku lirik Adulting, justru sering menggambar dirinya dalam figur monyet. Mengapa demikian? "Karena mirip aja", jawabnya pada sebuah interview.

Dibanding menciptakan karakter, ia justru menggunakan codeswitch untuk menelanjangi diri sendiri: "Seorang badut baru lepas kostum/Lepas senyuman lalu there goes my tear." Pada "Happy Birthday", ia memutar pepatah terkenal "yang fana adalah waktu" milik penyair Sapardi Djoko Damono: "They say kita abadi yang fana adalah waktu/Yet i'm older and tagihan hadir di bawah pintu." Disampaikan dengan urgensi melankolis, line ini membuat Basboi tetap berhasil mempertahankan kegetirannya meskipun di verse selanjutnya ia menempel referensi episode "gelap" Spongebob Squarepants yang menggelitik: "Pitch black, oh my god, i hit rock bottom/Macam pfft, Spongebob pfft, ku di rock bottom." Pengolahan humor pada baris-baris dengan emosi menyengat seperti ini pada akhirnya tetap memberikan render komikal kepada rap-nya, namun kejujuran dan transparansinya membuncah tak terhalang ke permukaan. Ia tak merendahkan perasaannya dengan menjadikan teknik codeswitch yang ia gunakan sebagai slapstick semata. Dalam kata lain: Adulting berhasil mengekspansi teknik codeswitch keluar dari teritori humornya menuju topik-topik serius seperti kerapuhan, harapan serta kontemplasi. Hal ini sudah umum dilakukan penyair-penyair codeswitch lokal, namun belum banyak diaplikasikan oleh lirisis codeswitch Indonesia.

Selain itu, Basboi tak hanya membuat teknik codeswitch menjadi stylish, namun juga menjadikannya sebagai kebutuhan. Dalam satu kesempatan ia mengaku bahwa jika ia tak menemukan rima yang tepat dalam Bahasa Indonesia, ia akan mencarinya dalam bahasa lain. Pengaplikasian ini cukup menarik dan menyadarkan bahwa betapa banyak kata dalam banyak bahasa yang turut masuk ke dalam keseharian kita—mulai dari bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda hingga bahasa Inggris, Arab dan Jepang—memiliki bunyi familiar dengan kata-kata bahasa Indonesia. Pada akhirnya, hal ini benar berhasil menjadi jalan baginya untuk menjebol kebuntuan rima: ia mengawinkan "yesterday" dengan "kue", “PNS” dengan “Los Angeles”, “Instagram” dengan “Wallahualam”, "bercermin" dengan "determine", “Keith Haring” dengan “Taman Puring”, "banyak sekali" dengan "ojo lali" hingga "otaku" dengan "otakku."

Para lirisis codeswitch sebelum Basboi biasanya menulis kalimat penuh dalam satu bahasa, untuk kemudian menyambungnya dengan kalimat penuh dalam bahasa lain. Pada Adulting, ia membawa kompleksitas baru pada teknik ini dengan membawanya ke tingkat kata. Bahkan, penggunaan ini berhasil mengaburkan dua kata dalam dua bahasa sekaligus seperti pada line: "Why you so kepanasan/macam lagi di arab" yang tanpa melihat lirik, akan sangat mungkin untuk salah mendengarnya sebagai "Why you soak up in the sun/macam lagi di arab." Bangunan lirik borderless-nya dengan cermat memberi nafas bagi interpretasi pendengaran yang berbeda dan tak akurat tersebut untuk menjadi tetap valid, sekaligus membuka jalan bagi kemungkinan-kemungkinan tak terbatas yang dapat dicapai oleh percampuran berbagai bahasa tanpa satu pun sekat penghalang.

Pada interview dengan NME, Basboi menyampaikan sanjungannya terhadap album monumental Kunto Aji, Mantra Mantra. "That album was so emotionally naked and so vulnerable and so real. I want my music to be real, too. I want my music to completely depict who I really am: a Jakarta migrant who is still struggling in life. My music needs to present reality," ujarnya. Adulting adalah upaya Basboi dalam membuat album dengan kadar realness setara dengan Mantra Mantra, dan dengan kedalaman emosi yang ia tampilkan dengan refleksi jatuh-bangun pendewasaannya tanpa berpura sedikitpun, ia (sedikit banyak) dapat dikatakan berhasil dalam mencapainya.

Dua tahun berlalu sejak Adulting, kini ia berada di atas angin dengan sederet prestasi. Pertanyaan baru muncul: dengan posisinya hari ini, akan sejauh mana ia mempertanyakan pencapaian personal dan materialnya? Masih mungkinkah ia menjadi jujur ketika industri mengangkatnya dan ia tak lagi lapar atau kehabisan uang di tengah bulan? Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu dipecahkan oleh muatan materi selanjutnya dari Basboi. Namun sampai waktunya datang, rasanya ia memiliki segala hak untuk melempar klaim bahwa ia merupakan salah satu musisi paling otentik yang pernah dimiliki hip-hop Indonesia. Selain itu, duduk di balik kursi host sejumlah talk show pun tak serta merta cukup untuk menampung potensinya. Mestinya, ia duduk di kursi seberang: seorang personality yang sukses menavigasi diri dengan cerdik dan lincah melewati labirin industri, untuk kemudian memutar inti dari labirin tersebut agar bergerak menyesuaikan visi dan talentanya tanpa membuat dirinya banyak berkompromi dengan aturan-aturan. Kita butuh wawancara eksklusif enam jam untuk membedah isi kepalanya. *

--

--